Resensi Buku Jangkauan Impunitas di Indonesia
Judul : Jangkauan Impunitas di Indonesia
Penulis : Martha Meijer
Penerbit : Jaringan Mitra Impunitas 2007
Tempat Terbit : Jakarta Timur
Tahun Terbit : 2007
Cetakan : Pertama, 2007
Jumlah Halaman : 244
ISBN
978-979-97208-3-2
Saat
reformasi muncul harapan bahwa Indonesia
akan memasuki tahap yang penting yaitu dalam pemajuan dan perlindungan hak
asasi manusia, dimana Indonesia mampu memutuskan lingkaran rantai impunitas.
Lingkaran dari satu situasi dimana para pelaku kejahatan berat terhadap
kemanusiaan bebas dari jangkauan hukum. Bukan karena mereka menikmati hak
imunitas tetapi karena kekuasaan politik, militer dan ekonomi yang membuat
hukum tidak mampu menuntut pertanggung jawaban mereka. Para pejabat ejim
(militer dan sipil) harus mempertanggung jawabkan kejahatan hak asasi manusia
yang mereka lakukan pada masa lampau. Hukum akan dikembalikan sebagai lembaga
yang member perlindungan bagi mereka yang hak-haknya di rampas. Setelah hampir
9 tahun sejak Suharto minggir dari panggung politik, impunitas masih terus
berlangsung. Instrumen hukum yang telah disiapkan dan memasng ada dua kasus
kejahatan hak asasi manusia masa lalu yang hampir dapat memutus impunitas yakni
kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Hampir dikatakan, lanataran para pejabat
tinggi militer aktif atau pensiunan dapat di bawa ke pengadilan ad-hoc hak
asasi manusia, tetapi kendatipun kenyataan bahwa telah terjadi pelanggaran
berat hak asasi manusia, ternyata mereka semua bebas dari hukuman. Begitu juga
kejahatan yang terjadi setelah adanya pengadilan hak asasi manusia, yakni kasus
Abepura, para pelaku ternyata diputus bebas oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia
di Makasar. Keputusan pengadilan tersebut bukan hanya melanggengkan impunitas
dan tidak memulihkan hak korban, tetapi juga gagal mengembalikan kepercayaan
masyarakat terutama korban. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa impunitas
begitu mencengkram hukum dan hak asasi manusia? Padahal paket dalam hukum sudah
lengkap, mulai dari TNI, POLRI, adanya konstitusi yang sudah di amandemen, tapi
tetap saja impunitas tetap berlangsung.
Pada buku
Martha Meijer ini merupakan salah satu usaha untuk menjawab semua. Kita dapat
memahami karakter impunitas yang sedang berlangsung dan dapat mengikuti
analisis yang mencoba menjawab akar permasalahan dari persoalan ini. Dan juga
terdapat sejumlah rekomendasi yang di tawarkan bagi usaha untuk memutuska
lingkaran impunitas di Indonesia.
(Asmara Nababan, April 2007).
Impunitas
adalah “ketidakmungkinan, de jure dan de facto, untuk membawa para pelaku
kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya – baik dalam
proses persidangan pidana, perdata, administrasi atau disipliner – karena
mereka tidak tunduk pada penyidikan yang bisa mengarahkan mereka pada alasan
mengapa mereka di tuduh, di tangkap, di adili dan jika ditemukan bersalah, di
hukum dengan hukuman yang tepat dan untuk melakukan reparasi bagi para
korban.”(Orentlicher, 2005a: 6). Dengan kata lain impunitas merupakan situasi
pelanggaran berat hak asasi manusia yang diciptakan atau dipelihara oleh Negara
atau sebagai hasil dari runtuhnya kekuasaan di sebuah Negara dan pelbagai
institusinya. Atau dapat dikatakan bahwa pada pelbagai situasi apa pun dimana
sebuah pelanggaran hak asasi manusia tidak di tangani sama sekali. (Odinkalu,
1996). Langkah-langkah analisis dengan menggunakan metode Penilaian Dampak Hak
Asasi Manusia :
-
Situasi
Mutakhir
Sebuah deskripsi berdasarkan laporan hak asasi manusia internasional dan
Indonesia untuk memberikan gambaran tentang kekerasan hak asasi manusia yang
terjadi (2004 - 2005). Situasi mutakhir telah di analisis dengan mencocokan
komitmen formal dalam perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh
Indonesia dengan implementasi dari hak-hak politik dan sipil yang utama. Tinjauan
tentang keadaan mutakhir atas perlindungan dan pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia selama setahun terakhir, kemudian mempertimbangkan untuk menggunakan
model dari institute Denmark untuk Hak Asasi Manusia (The Danish Institute oh
Human Rights, DIHR) dalam Human Rights Commitment Index (Lindholt dan Sano,
2000: 11 – 12).Meskipun indeks dimaksudkan untuk membandingkan Negara-negara
dalam hal kepatuhan mereka terhadap hak asasi manusia, namun ia memberikan
suatu tinjauan yang baik tentang satu Negara juga. Fokus dari DIHR pada hak - hak
sipil dan politik bersesuaian dengan focus Martha pada hak asasi manusia yang
berdampak pada konsep impunitas. Indeks dari DIHR itu terdiri dari empat bagian
dengan masing-masing turunan detailnya sebagai berikut :
1. Komitmen formal dari pemerintah atas
standar - standar hak asasi manusia internasional dan regional :
a. Ratifikasi instrumen instrument
internasional dan regional yang fundamental
b. Ratifikasi terhadap konvensi-
konvensi hak asasi manusia PBB
c. Reservasi atas substansi dari
perjanjian - perjanjian tersebut
d. Hukum hak asasi manusia nasional
2. Pelanggaran hak- hak sipil dan
politik oleh pemerintah :
a. Penghukuman mati di luar proses
pengadilan dan penghilangan paksa
b. Penyiksaan dan perlakuan tidak
manusiawi
c. Penahanan tanpa proses pengadilan
d. Persidangan yang tidak adil
e. Pelanggaran hak atas partisipasi
f.
Pelanggaran
kebebasan untuk berkumpul
g. Pelanggaran kebebasan untuk
berekspresi
h. Diskriminasi
3. Komitmen pada pemenuhan hak - hak
ekonomi, social dan budaya;
4. Komitmen pada kesetaraan gender.
-
Konteks
politik
Dalam analisis ini terdapat empat pola impunitas :
1. Aspek yang berkaitan dengan kekuasaan
Aspek kekuasaan militer
dan kepolisian yang selama puluhan tahun telah membentengi diri mereka sendiri
dan yang masing- masing melanjutkan praktek represi. Tentara Indonesia memiliki
dua cara menerapkan impunitas : pertama adalah melalui model dwifungsi yang
memberikannya kekuasaan untuk merepresi para warga Negara di tingkat akar
rumput tanpa control sama sekali dari kekuasaan pemerintah dan kekuasaan
kehakiman; yang kedua adalah ketertutupan yang sengaja di kembangkan dalam
pelbagai kegiatan ketentaraan, kapasitas dan kebijakan. Dwifungsi telah
berakibat pada kehadiran mereka yang merata dan menyeluruh dalam masyarakat
melalui tindakan-tindakan represif dan intimidasi. Tidak banyak orang berani
yang memiliki kekuatan untuk melawan represi ini dan menuntut adanya
penghukuman bagi kekerasan hak asasi manusia. Mereka yang berani melakukannya
hanya berakhir pada represi juga. Unit-unit berbeda dari tentara berkontribusi pada
kurangnya transparansi pada unit mana yang harus bertanggung jawab untuk apa.
Kurangnya transparansi itu sendiri menyediakan ruang gerak bagi praktek
impunitas.
2. Aspek Hukum
Aspek dari impunitas yang
telat diperkuat oleh tindakan- tindakan hukum, undang- undang, dan proses-
proses pengadilan. Undang- undang telah di buat dengan tujuan untuk mencegah
pandangan- pandangan terbuka dan kritis tentang pelanggaran hak asasi manusia.Adanya
hukum pidana, hukum perdata dan struktur dari pengadilan- pengadilan dan di tambahkan
penggunaan hukum adat dan pengadilan- pengadilan tradisional khusus memiliki
kewenangan untuk memutus di dalam konflik- konflik keluarga dan hubungan-
hubungan yang terkait dengan keluarga. Dari konstitusi sampai pada tindakan-
tindakan administrative di tingkat regional, terdapat unsure-unsur penting di
dalam system hukum Indonesia yang mendukung impunitas dan membuat impunitas
terlihat sah. Perubahan di dalam pemerintahan tidak menghasilkan suatu system hukum yang bebas
dari impunitas, ataupun kebijakan reformasi hukum yang terpadu. Para
professional yudisial dalam penuntutan dan para hakim bekerja dalam iklim
dimana penghukuman terhadap kejahatan hak asasi manusia adalah hal yang tidak
mungkin. Sejak tahun 1998, sebuah proses
reformasi hukum telah di mulai. Namun pada saat itu, tampaklah bahwa begitu
banyak mekanisme untuk menegakkan kedaulatan hukum. Dan karena jumlah yang
begitu banyak itu malah menjadi penghalang bagi penuntutan dan penghukuman.
Sebagai contoh sejumlah komisi, pengadilan, hukum, dan peraturan untuk
mengentaskan korupsi mengatasi kasus- kasus yang tidak tertangani dengan tepat.
Sebuah peran penting dalam reformasi hukum yang telah dimainkan oleh Undang-
Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( UU KKR ) yang di sahkan oleh DPR pada
September 2004. Akan tetapi, undang- undang itu tidak memadai dalam beberapa
aspek penting, dan menurut banyak narasumber tidak akan memberikan solusi
signifikan bagi kasus- kasus impunitas.
3. Aspek cultural
Keragaman budaya
merupakan suatu aspek penting dalam masyarakat Indonesia dan merupakan satu hal
yang sering di banggakan oleh pemerintah dengan menggunakan semboyan Negara :
“Bhineka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda- beda tetapi tetap satu”. Indonesia
mempunyai ratusan etnis dan kelompok bahasa yang berbeda- beda. Namun,
keragaman yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat itu masih belum di
terima sepenuhnya dalam praktek politik. Selama masa kekuasaan Suharto,
ketegangan antar etnis merupakan sebuah tabu yang diletakkan di bawah doktrin
SARA. SARA yang merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras dan Antar- golongan itu
dilarang menjadi bagian dalam pembicaraan public. Karena kurangnya pertimbangan
public, prasangka yang terkandung di dalamnya masing- masing hal sensitive itu
menjadi tidak dapat di lawan dengan argument
apapun, itulah yang terjadi selama masa pemerintahan Suharto. Sejak
transisi tahun 1998, debat public muncul menjadi hidup dan dinamis dengan
pelbagai gagasan, pandangan dan konsep. Tabu SARA telah diganti oleh tabu baru
lagi yaitu konsep NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Konsep ini tidak mengijinkan kritik apapun terhadapnya.
Siapapun yang mengkritik konsep itu maka dengan segera ia di cap separatis.
Dibutuhkan waktu yang cukup setelah 30 tahun masa penuh penindasan untuk
menghidupkan debat public, untuk mengakomodasi kebebasan untuk membicarakan
perbedaan- perbedaan berdasarkan latar belakang budaya dan untuk memikirkan dan
menerima aspek negative dan positif dari masing- masing kebudayaan. Terdapat
banyak sinyal dan pernyataan dari pelbagai narasumber yang menunjukkan bahwa
kultur feodalisme masih tetap bercokol kuat dalam masyarakat. Hal itu membuat
impunitas bukan hanya mungkin, melainkan merupaka suatu unsure esensial dalam kultur
masyarakat sekarang ini. Perilaku “asal bapak senang”, tidak kritis dan sopan
santun hipokrit merupakan cirri khas paling jelas dari kultur feodalisme. Dua
jenis perilaku lainnya juga berkaitan erat dengan hal itu, yaitu kultur
kekerasan – mengatasi konflik bukan dengan dialog dan debat melainkan dengan
kekerasan – dan budaya kemunafikan – karena adanya tuntutan sopan santun dalam
masyarakat maka orang cenderung untuk tidak menggali kebenaran dan
menyingkapkan fakta- fakta. Akhirnya, ada juga kultur korupsi yang pada dasarnya terjadi dalam iklim penuh
kerahasiaan, tanpa bukti tertulis, dan dengan menggunakan tawaran- tawaran
rahasia, ancaman dan tekanan tersembunyi. Kultur korupsi yang menerima begitu saja praktek- praktek
korupsi dan memanfaatkan begitu saja ketika praktek korupsi itu terbukti. Semua
perilaku itu secara bersama- sama memperkuat
tindakan menutup - nutupi ketika di hadapkan pada tuntutan untuk mendukung
kejahatan hak asasi manusia.
4. Aspek internasional
Perjanjian- perjanjian
internasional tidak mengijinkan terjadinya impunitas. Kendati Indonesia belum
meratifikasi semua perjanjian itu, namun sudah tercakup dalam konsep common
law bahwa impunitas tidak boleh di
biarkan hidup. Kurangnya implementasi atas perjanjian - perjanjian ini, dan
kurangnya tekanan internasional untuk membuat perjanjian - perjanjian itu di
implementasikan dengan lebih baik, turut menyebabkan kelanggengan impunitas.
Salah satu masalahnya adalah cara yang tidak memadai tentang bagaimana
impunitas di masukkan ke dalam perjanjian-perjanjian itu. Masalah lainnya lagi
adalah kurangnya komitmen politik (political will) untuk melakukan tekanan
seperti itu. Contoh - contoh pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan
dengan kasus 1965 dan kasus- kasus Timor Timur sejak 1975 memperlihatkan bahwa
mekanisme- mekanisme internasional PBB belum berjalan efektif sama sekali.
Satu- satunya pengecualian adalah program pelepasan bagi para tahanan politik
yang di desak oleh Organisasi Buruh Internasional ( ILO ) kepada pemerintah Indonesia
pada tahun 1976 - 1979 . Jurisdiksi universal merupakan system yang dengannya
penuntutan dan pengadilan bisa di inisiasi oleh negara- negara lain dan bukan
sekedar oleh Negara dimana pelanggaran hak asasi manusia terjadi, dan lebih
mengarah kepada para pelakunya dalam kapasitas individual dan bukan mengarah
pada kapasitasnya sebagai warga bangsa atau Negara tertentu. Jurisdiksi
universal juga mengacu pada perspektif - perspektif baru tentang penuntutan dan
persidangan bagi para pelaku kekerasan hak asasi manusia oleh Mahkamah
Persidangan Internasional ( ICC ) di Den Haag. Bidang ini sedang berkembang
dengan sangat cepat, khususnya dengan peningkatan jumlah Negara Pihak yang
telah meratifikasi Statuta Roma untuk Mahkamah Persidangan Internasional tersebut.
Indonesia memang belum menjadi Negara Pihak. Genosida dan penyiksaan merupakan
dua jenis kekerasan dan kejahatan yang bisa di tuntut di Negara lain
berdasarkan konvensi - konvensi terkait.
Namun demikian,
jurisdiksi universal belum pernah diterapkan dalam kasus Indonesia, tidak juga
dalam kasus Timor - Timur , baik dalam bentuk sebuah pengadilan ( Tribunal )
Internasional maupun dalam bentuk penuntutan individual yang di lakukan di
Negara - Negara lain. Persidangan - persidangan menyangkut Timor Timur sangat
mengecewakan karena tidak menunjukkan hasil apa - apa kendati pun sudah jelas
ada banyak mekanisme yang tersedia , dan telah ada rekomendasi yang begitu
tegas dari utusan PBB yang di pimpin oleh mantan Komisaris Agung Hak Asasi
Manusia PBB, Mary Robinson. Ada asumsi kuat bahwa di tingkat yang lebih
tinggi di PBB juga terdapat kurangnya
komitmen politik untuk masalah ini. Dalam hubungan bilateral, impunitas tidak
pernah menjadi isu yang penting. Sejauh yang kita ketahui , pelanggaran Hak
Asasi Manusia , hanya di bahas secara sambil lalu. Interverensi - intervensi
diplomatic pada dasarnya memang tidak transparan. Bertahun - tahun sejak 1965,
tampak jelas bahwa tekanan bilateral asing hanya mendatangkan sedikit perubahan
dalam situasi represi yang di alami oleh puluhan, ratusan atau ribuan orang
yang “terlibat” dalam apa yang di sebut sebagai kudeta gagal itu , dan bahkan
tidak memberi perhatian apa pun berkaitan dengan impunitas.
Persyaratan tertentu (
Conditionality ) dalam hubungan internasional pada hakikatnya merupakan alat
yang di pakai untuk menekan perubahan tertentu di sebuah Negara berkembang oleh
Negara donor atau se kelomppok Negara donor. Persyaratan pada umumnya berarti
menerapkan kekuasaan Negara donor kepada Negara penerima, dan sangat di ragukan
apakah persayaratan itu dapat di terima jika berkaitan dengan persoalan hak
asasi manusia. Dalam kasus Indonesia, IGGI (Intergovernmental Group on
Indonesia) , yang setelah tahun 1992 berubah menjadi CGI ( Consultative Group
on Indonesia ), telah menjadi sangat enggan untuk mengajukan persyaratan berupa
permintaan sebagai imbalan dari pemberian bantuan kerja sama , pinjaman dan
hibah. Pada tahun 1992 , IGGI telah dig anti menjadi CGI oleh pemerintah
Indonesia seteleah retaknya hubungan kerja sama antara Indonesia dan Belanda
karena pemerintah Belanda melakukan kritik terhadap tragedi pembantaian masal
Santa Cruz , Dili , pada tahun 1991. Pemerintah Belanda kemudian kehilangan
kursi kepemimpinan dalam IGGI. CGI kemudian di kepalai oleh Bank Dunia ( World
Bank ). Perilaku pemerintah Indonesia dalam menghadapi persyaratan dalam kerja
sama bantuan masih tetap demikian sejak saat itu.
-
Sasaran
Perubahan
Sasaran perubahan untuk membayangkan situasi di mana impunitas merupakan
hal yang mustahil dan untuk mengidentifikasi isu - isu yang perlu di ubah untuk
sampai pada kondisi – kondisi seperti yang di harapkan. Oleh Karena itu, perlu
untuk melepaskan diri dari realitas dan untuk memimpikan masa depan. Di sini
Martha menggunakan riset yang di buat oleh Prof.D.Orentlicher. Analisis
Orentlicher merupakan analisis yang pragmatis dan tidak dapat di pungkiri bahwa
hal itu berangkat dari mandate yang di embannya dan pada lingkup mandatnya yang
di mungkinkan secara politis , yakni bahwa peristiwa impunitas di suatu Negara
seharusnya di selesaikan, di perbaiki dan di cegah. Sebagaimana di jelaskan
oleh PBHI di dalam analisisnya mengenai praktek - praktek terbaik (
Orentclicher, 2004 ), Prof Orentclicher tidak mengikuti konteks politi yang
termuat di dalam mandatnya yakni untuk tidak menganalisis factor - faktor yang senantiasa
mendukung keberlangsungan dari impunitas, dan oleh karena itu laporan tentang
praktek - praktek terbaik tersebut kurang mengedepankan analisis masalah secara
seksama. Kondisi- kondisi yang berbeda mengenai
pelbagai komisi kebenaran dan rekonsiliasi itu sendiri tidak secara detail
menyatakan jaminan atas ketidak berulangan ( guarantee of non-recurrence ).
Celah tersebut harus di isi. Martha
merumuskan sasaran - sasaran untuk perubahan di dalam kasus Indonesia secara
posotif, se akan perubahan telah terjadi dan masa depan sudah ada di depan mata
kita.
1. Sasaran secara keseluruhan
Mekanisme - mekanisme di
tempatkan untuk membuat impunitas mustahil untuk terjadi. Pelanggaran -
pelanggaran hak asasi manusia dan kasus
- kasus penerapan hukum yang tidak yang tidak professional masih tetap dapat terjadi,
baik oleh kesalahan manusia yang tidak di sengaja dan penyalahgunaan kekuasaan
yang tidak di sengaja. Namun demikian , terdapat keseimbangan kekuasaan yang
mewajibkan pejabat - pejabat yang kompeten untuk mengatasi pelanggaran -
pelanggaran yang terjadi dengan cara memenuhi hak-hak para korban dan
masyarakat. Masyarakat di atur se demikian rupa bahwa kepastian hukum
mengalahkan kekuasaan dan bahwa warga Negara menghargai kepastian hukum
tersebut.
2. Hak untuk mengetahui
Orentlicher menyatakan
bahwa argumentasi bahwa kegagalan Negara untuk memenuhi hak untuk mengetahui
dapat di pertimbangkan sebagai suatu pelanggaran dengan sendirinya sesuai
dengan jurisprudensi internasional dan bahwan hak untuk mengetahui dapat di
klaimkan atas dasar yang sama (Orentlicher, 2005, paragraph 17). Proses ini
mengantar kita pada suatu situasi di mana hak untuk mengetahui di hargai, di
lindungi dan dapat di penuhi.
Kebenaran merupakan suatu
konsep yang sangat luas dan yang subjektif. Orentlicher membatasi kebenaran
dalam tiga perspektif : pertama, kebenaran menyangkut bagi suatu masyarakat
untuk tahu akan sejarah mengenai kejahatan - kejahatan yang keji yang terjadi
dan mengenai keadaan - keadaan dan alasan - alasan yang mengarah kepada mereka.
Kedua, kebenaran menyangkut kewajiban Negara untuk mengungkap fakta - fakta
tersebut ke public dan kemampuan Negara untuk mengungkap fakta - fakta tersebut
ke public dan kemampuan Negara untuk memelihara memori tersebut dan ketiga,
terdapat hak para korban dan/atau keluarga mereka untuk tahu apa yang terjadi
pada orang di permasalahkan. Kebenaran dapat menjadi objek perdebatan public
dan apabila perdebatan tersebut di lakukan di dalam diskusi - diskusi terbuka ,
maka suatu konsep kebenaran akan dapat di bangun berdasarkan fakta - fakta
sejarah bersama. Orentlicher membagi penerapan hak untuk mengetahui dalam tiga
hal ( Prinsip 2 - 5 ) :
a. Hak kolektif warga Negara ,
masyarakat untuk mengetahui sejarahnya.
b. Kewajiban Negara untuk memelihara
memori dan membuat arsip - arsip.
c. Hak individu untuk tahu mengenai
nasib korban.
Sebagai badan yang menjadi actor di dalam pelaksanaan hak
ini, Joinet ( 1997 ) mengajukan pembentukkan “Komisi Penyelidikan”, sedangkan
Orentlicher mengadaptasi terminology terkini yakni “Komisi Kebenaran”. Titik
tolak kedua badan tersebut berbeda ( untuk melakukan penyelidikan dan untuk
mengungkap kebenaran ). Namun demikian, pada akhirnya kedua badan tersebut
memiliki peran yang sama di dalam masyarakat yang sedang berada di dalam masa
transisi.
3. Hak atas keadilan
Di dalam masyarakat dimana
impunitas tidak dapat muncul , maka yang terjadi adalah bahwa semua pelanggaran
hak asasi manusia di selesaikan melalui prosedur - prosedur yudisial. Untuk
dapat merealisasikan hal tersebut Negara harus melakukan investigasi -
investigasi yang cepat, seksama, independen dan imparsial dengan inisiatifnya
sendiri, dan juga mengambil tindakan - tindakan yang tepat berkenaan dengan
para pelaku ( Prinsip 19 ). Terlepas dari kewajiban dan kompetensi Negara, para
korban dan generasi mereka yang akan dating memiliki kesempatan untuk
menggunakan prosedur swasta dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka akan
keadilan dan melindungi hak atas keadilan secara umum. Lebih lanjut, Prinsip 20
- 30 menetapkan criteria yang detail mengenai pembatasan pelaksanaan hukum ,
yang dapoat di terima dan yang tidak dapat di terima sehingga membatasi
penerapan amnesty, imunitas resmi, dan juga hubungan terhadap jurisdiksi
internasional.
4. Hak atas reparasi
Van Boven dan Bassiiouni
di dalam Prinsip - Prinsip Acuan dan Pedoman tentang Hak atas Upaya Hukum dan
Reparasi ( PBB 2005d )menggunakan istilah remedy (upaya hukum) dan reparasi. Di
dalam dokumen tersebut , upaya hukum di bagi menjadi 3 aspek : akses terhadap
keadilan, reparasi untuk kerugian yang di derita , dan akses terhadap informasi
yang factual. Akses terhadap informasi dan keadilan di dalam prinsip - prinsip
Acuan ini tumpang tindih dengan hak untuk mengetahui dan hak atas keadilan di
dalam Prinsip - Prinsip Acuan Orentlicher mengenai reparasi mengacu pada
prinsip - prinsip acuan dan pedoman ini ( PBB 2005d ), yang menerangkan
pengertian - pengertian yang berbeda sebagai berikut :
a. Restitusi harus, bilamana di
mungkinkan, mengembalikan korban kepada situasi semula sebelum pelanggaran -
pelanggaran berat terhadap hukum hak asasi manusia internasional atau
pelanggaran - pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional
terjadi. Restitusi mencakup , yang layak : restorasi kebebasan, penikmatan hak
asasi manusia, identitas, kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, kembali ke
tempat kediaman, restorasi pekerjaan dan pengembalian hak milik.
b. Kompensasi harus di sediakan untuk
setiap kerusakan yang secara ekonomi dapat di nilai, selayak dan seproporsional
mungkin dengan kejahatan dan keadaan dari tiap kasus , sebagai hasil dari
pelanggaran - pelanggaran berat terhadap hukum hak asasi manusia internasional
dan pelanggaran -pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional
seperti :
o
Kerugian
fisik dan mental;
o
Hilangnya
kesempatan , termasuk pekerjaan, pendidikan dan tunjangan social;
o
Kerusakan
meteriil dan hilangnya penghasilan, termasuk hilangnya penghasilan yang
potensial;
o
Kerusakan
moral;
o
Biaya
yang di bayarkan untuk bantuan hukum atau ahli, layanan medis dan obat -
obatan, layanan psikologis dan social.
c. Rehabilitasi ( Rehabilitation ) harus
meliputi perawatan medis dan psikologis, dan juga layanan hukum dan social.
o
Pemuasan
( Satisfication ) harus meliputi bilamana di mungkinkan salah satu atau seluruh
dari hal - hal sebagai berikut : tindakan - tindakan yang efektif yang di
arahkan pada penghentian pelanggaran - pelanggaran yang terus berlangsung;
o
Verifikasi
fakta - fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya secara public, sampai pada
taraf dimana pengungkapan semacam itu tidak mengakibatkan kerugian yang lebih
jauh atau mengancam keselamatan dan kepentingan para korban, keluarga para
korban, saksi - saksi atau orang - orang yang telah turut campur tangan untuk
membantu korban atau mencegah terjadinya pelanggaran -pelanggaran yang lebih
jauh;
o
Pencarian
terhadap keberadaan mereka yang hilang, identitas anak - anak yang di culik dan
jenazah orang - orang yang di bunuh dan bantuan di dalam hal pemulihan ,
pengidentifikasian dan pemakaman ulang jenazah sesuai dengan permintaan yang
dinyatakan atau yang mungkin di nyatakan oleh para korban atau sesuai dengan
praktek - praktek kebudayaan dari pihak keluarga dan masyarakat;
o
Pernyataan
resmi atau putusan pengadilan untuk mengembalikan martabat reputasi dan hak
para korban dan orang - orang yang memiliki hubungan erat dengan korban;
o
Permintaan
maaf secara public, termasuk pengakuan terhadap fakta - fakta dan penerimaan
tanggung jawab;
o
Sanksi
hukum dan administrasi terhadap orang - orang yang bertanggung jawab atas
pelanggaran - pelanggaran tersebut;
o
Peringatan
dan penghormatan bagi para korban;
o
Pemasukan
pertanggung jawaban yang akurat mengenai pelanggaran - pelanggaran yang terjadi
di dalam pelatihan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter
internasional dan di dalam materi pendidikan di semua tingkat. ( PBB, 2005d :
para 19 – 22 ).
5. Jaminan - jaminan atas ketak -
berulangan ( guarantee of non recurrence )
Jaminan - jaminan atas
ketak – berulangan memiliki kelompok target yang lebih luas dan lebih
terstruktur di banding reparasi , tidak hanya para korban tetapi juga
masyarakat secara keseluruhan. Jaminan - jaminan atas ketak - berulangan tidak
hanya di berikan kepada mereka yang menjadi korban masa lalu , tetapi mengacu
pada perlindungan dan keamanan bagi setiap orang terhadap pelanggaran -
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, saya meletakkan sasaran ini
terpisah dari yang sebelumnya.
Pada dasarnya, pedoman
tersebut berfokus pada sasaran perubahan dalam periode transisi dari pemerintahan
otoritarian menuju tatanan demokratis , dan di arahkan pada kesulitan -
kesulitan menangani sejarah pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, dalam
pedoman tersebut, suatu analisis impunitas menjadi sangat kurang dan prosedur -
prosedur yang di ajukan sangat pragmatis. Ke tiga hak yang di sebutkan di atas
sangat esensial untuk menyikapi sejarah impunitas, sementara yang terakhir,
“jaminan ketak - berulangan “, merupakan poin paling penting untuk kepentingan
masa depan , yaitu bagaimana mencegah mekanisme - mekanisme impunitas tetap
melanggeng atau kembali.
-
Isu
- isu yang akan di monitori
Dengan adanya pengaruh terhadap sasaran - sasaran masa depan, isu - isu
ini perlu di ubah. Untuk melihat apakah apakah perubahan tersebut berjalan ke
arah yang tepat , maka isu - isu ini perlu untuk di monitori. Isu - isu ini muncul dari hubungan antara
sasaran - sasaran yang terkait dengan situasi yang nyata dan rintangan -
rintangan yang sudah di bahas. Dengan demikian sasaran - sasaran masa depan
akan di sandingkan dengan realitas yang ada , karena struktur - struktur yang
ada cenderung untuk menolak perubahan dan melekat pada status quo. Martha
Meijer juga akan membahas bagaimana “indicator - indicator realitas”
berhubungan dengan sasaran - sasaran. Berdasarkan situasi ini , hubungan -
hubungan ini membutuhkan prioritas - prioritas yang berbeda untuk aktivitas
monitoring dan advokasi. Menganalisis isu - isu untuk di ubah dan di awasi
adalah suatu tindakan yang mudah; melanjutkan proses monitoring dan
mengidentifikasi perkembangan atau hasil - hasil negative adalah tindakan -
tindakan yang mengikuti usaha - usaha advokasi yang di lakukan dan di nilai oleh
masyarakat sipil.
1. Implementasi hak untuk mengetahui ,
apabila di laksanakan dengan baik akan mengantar kita pada suatu memori bersama
sebagaimana dinyatakan oleh Margalit di dalam pendekatan filosofisnya. Memori
bersama menurutnya merupakan penyatua semua memory individu dari mayoritas
suatu masyarakat. Penting untuk memilah - milah masalah - masalah tersebut
menjadi isu - isu yang dapat di awasi dengan keterkaitan pada implementasi
sasaran yang di maksudkan. Terlepas dari hubungan yang ada, penting untuk
mengidentifikasi arah untuk perubahan.
a. Faktor - factor kekuasaan
Di dalam lingkup
kekuasaan, hubungannya adalah sebagai berikut :
o
Dwi
- Fungsi ABRI telah mengakibatkan tentara berkuasa di dalam wilayah keamanan
domestic, sehingga menciptakan ketidak seimbangan di dalam masyarakat.
Perubahan harus di lakukan , yakni dimana tentara memiliki posisi yang kurang
dominan di tingkat akar rumpu dan juga di tingkat pengambilan keputusan
mengenai keamanan domestic. Kehadiran militer lokal harus tidak terlibat di dalam
pengawasan pendapat - pendapat politis, dan barang kali kehadiran militer lokal
harus di hapus secara total.
o
Ketidak
transparanan yang di sengaja di dalam tubuh tentara telah mengakibatkan
tanggung jawab yang tidak jelas di antara unit - unit yang berbeda. Tanggung
jawab unit - unit tersebut harus di tegaskan kembali , di setujui dan di
tentukan oleh pejabat - pejabat sipil. Dalam hal ini Undang - Undang TNI yang
ada saat ini tidak memadai (Imparsial, 2004a), khususnya mandat yang luas yang
di berikan kepada Pasukan Khusus (Kopassus) dan Brigade Mobil ( Brimob ).
Struktur baru yang tidak transparan , seperti yang di advokasi oleh BIN,
lengkap dengan kapasitas penahanan di tingkat lokal, harus di hindari.
o
Penggunaan
kekerasan seksual telah mengakibatkan sedikitnya laporan yang di terima
mengenai pelanggaran - pelanggaran yang terjadi dan tidak memadainya tindak
lanjut pelanggaran - pelanggaran tersebut. Isu yang berkenaan dengan monitoring
masalah yang tidak di laporkan merupakan isu yang rancu. Awalnya peritiwa itu
akan muncul ketika kesadaran tumbuh hanya dalam bentuk peningkatan laporan
saja. Publisitas mengenai kasus - kasus dan para korban yang mempunyai
keberanian untuk melapor, termasuk akibat - akibat yang mungkin dapat di
gunakan sebagai alat untuk memcahkan keheningan ini. Konseling pendampingan di
perlukan.
o
Pengaruh
politis dari tentara telah menciptakan kepentingan kelompok yang sangat kuat
dan tidak seimban. Tidak hanya mengenai pengambilan keputusan politis yang umum
semata, tetapi juga mengenai isu - isu yang terkait dengan kelompok. Kekuasaan
tentara tetap tinggi meskipun kursi resmi untuk mereka di Parlemen sudah tidak
lagi di berikan. Pembentukan pengadilan - pengadilan hak asasi manusia ad hoc
telah di putuskan bersama oleh perwira - perwira tentara dengan mempengaruhi
anggota - anggota parlemen dan orang - orang yang berada di posisi yang tidak
tinggi di dalam pemerintahan.
o
Kepentingan
- kepentingan ekonomi dari tentara untuk tetap beroperasi, telah secara
negative mempengaruhi posisi keamanan pemerintahan lokal dan perusahaan -
perusahaan bisnis lokal dan internasional. Tentara telah membuat keberadaannya
sangat di butuhkan. Di beberapa kasus , para pengamat mengatakan, mereka
sendiri yang membangkitkan kegelisahan dan melakukan kekerasan ( Aditjondro,
2000; Human Rights Watch, 2002: 40 ). Keterkaitan antara kekerasan dan
kepentingan - kepentingan ekonomi sangat sulit untuk di uraikan. Pada tingkat
kebijakan, tentara harus di larang untuk mengambil bagian di dalam perusahaan -
perusahaan ekonomi dan di berikan dana yang cukup untuk tetap beroperasi pada
tingkatan yang telah di setujui. Di tingkat lokal, mekanisme untuk mengawasi
kepentingan - kepentingan yang saling bertentangan harus di bangun.
o
Peran
polisi dan polisi militer untuk menyelidiki pelanggaran - pelanggaran hak asasi
manusia yang di lakukan oleh personil militer tidak jelas dan tidak kuat.
Hubungan adik dan kakak tidak memudahkan pelaksanaan investigasi yang
independen.
o
Kelompok
- kelompok para - militer telah di gunakan untuk melawan institusi - institusi
dan individu - individu yang kritis , partai - partai politik, dan kelompok -
kelompok keagamaan. Di sejumlah kasus, hubungan yang erat dengan, dan dukungan
dari tentara telah terbongkar (Amnesty International, 1999a, Eye on Aceh, 2004)
tetapi tidak ada upaya yang di ambil. Hal ini mungkin di karenakan adanya
ketakutan terhadap orang - orang yang mendukung kelompok - kelompok tersebut. Faktor
kekuasaan memiliki dampak terhadap implementsi hak untuk mengetahui, karena
factor - factor tersebut menghalangi debat public mengenai , dan investigasi -
investigasi yang terbuka terhadap pelanggaran - pelanggaran hak asasi manusia
dan para pelakunya.
Banyak dari isu yang
harus di atasi oleh Undang - Undang TNI yang baru (UU No. 34 Tahun 2004), yang
di sampaikan kepada DPR pada bulan Juni 2004 dan di sahkan pada bulan September
2004, tepat sebelum masa kepemimpinan Presiden Megawati berakhir. Namun
demikian undang - undang tersebut di anggap tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan
- persoalan yang di atas ( Imparsial, 2004a ). Imparsial secara khusus mencatat
persoalan mengenai pengaruh politis dan kurangnya supremasi penduduk sipil dan
mengatakan bahwa hukum bahkan membuka pintu - sebagai pintu belakang - bai TNI
untuk kembali bermain di dalam ranah politik dan untuk mengambil tindakan - tindakan
otonomi.
b. Faktor -faktor Hukum
Disini kita dapat mempertimbangkan
integrasi perspektif - perspektif para korban dan pelaku , penduduk sipil dan
militer, si kaya dansi miskin. Ini mungkin merupakan proses pertumbuhan
pemahaman terhadap posisi pihak lain. Martha mengambil tindakan ini sebagai
pendekatan Margalit kea rah rekonsiliasi. Meskipun upaya untuk menyeimbangkan
solusi yang sempurna tidak akan pernah tercapai, tetapi usaha di dalam diskusi
– diskusi yang terbuka akan menyingkirkan banyak ketegangan yang dating tidak
dengan integrasi dan pemahaman. Di dalam proses untuk membangun integrasi ini ,
akan terdapat putusan - putusan hukum untuk mengatasi konflik kepentingan yang
terjadi. Banyak nara sumber menyatakan bahwa keadilan dan rekonsiliasi hanya
akan mungkin tercapai setelah kebenaran di buktikan. Hal ini menyiratkan bahwa
di dalam implementasi hak untuk mengetahui, semua factor hukum yang mendukung
impunitas sangat penting :
o
Impunitas
yang di legalkan, khususnya identifikasi terhadap undang – undang yang
mendukung impunitas dan perlu di cabut; dan identifikasi putusan - putusan yang
tidak adil , yang telah menekan kebebasan bekrpresi dan kebeasan para korban
terhadap kegagalan hukum. Perubahan menyiratkan reparasi masa lalu dan
pencegahan masa depan dengan menerapkan keadilan dengan instrumen - instrumen
hukum yang tepat.
o
Impunitas
dengan korupsi perlu di akhiri dengan
cara membongkar putusan - putusan yang telah di curigai dan meninjau kasus - kasus
tersebut, dan juga mencegah putusan - putusan baru yang mengandung kecurangan.
Kriteria harus di tetapkan dan struktur - struktur pengawasan yang efektif
harus di tempatkan. Saat ini terdapat 4 insitusi yang terlibat di dalam pengawasan
terhadap korupsi : Kejaksaan (dengan Wakil Jaksa Agung khusus untuk korupsi),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lebih lanjut , para Hakim dan Jaksa yang
masih aktif bertugas di awasi oleh Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung, dan
dua komisi baru : Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan.
o
Reformasi
hukum yang saat ini sedang berlangsung lebih memilih untuk membentuk badan -
badan yang baru ke timbang menyempurnakan kapasitas dan cara kerja dari badan -
badan yang saat ini ada.
c. Faktor - factor budaya
Di dalam lingkup kendala
- kendala budaya untuk mengimplementasikan hak untuk mengetahui, hubungannya
adalah sebagai berikut :
o
Budaya
feodalisme semacam itu menghambat diskusi dan komunikasi yang terbuka dan
seimbang. Hal ini menghalangi pencarian fakta - fakta secara independen.
o
Kekerasan
budaya telah menekan upaya - upaya untuk angkat bicara. Kelompok - kelompok para
- militer akhir - akhir ini telah di pakai untuk mengintimidasi mereka yang
memprotes.
o
Budaya
kemunafikan dan kepalsuan telah di maksudkan tidak untuk mencapai dan mengetahui
kebenaran, tetapi di maksudkan untuk mencapai consensus dan menghindari
terjadinya konflik. Hal tersebut mengijinkan realitas yang akan terjadi, yang
membutuhkan waktu untuk setahap, di hapuskan. Akan sulit untuk membuat orang
sadar bahwa mereka memalsukan budaya, bahkan untuk alasan - alasan keamanan,
hal itu sudah tidak ada artinya.
-
Rekomendasi:
Dipandang dari perspektif sasaran, jaminan ketakberulangan
mendapatkan prioritas tertinggi karena berhubungan dengan pencegahan impunitas
di masa depan. Dalam konteks ini gugus prioritas tinggi yang kedua yang harus
diambil di Indonesia untuk mengentaskan impunitas adalah soal relasi kekuasaan.
Tentara harus dibuat akuntabel atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu
dengan sebuah proses kebenaran dan keadilan melalui sebuah pengadilan yang
bersih. Tentara juga harus ditempatkan di bawah pengawasan sipil tanpa pengaruh
politik dan kepentingan ekonomi apapun. Tanggungjawab dari kesatuan tentara
harus ditetapkan secara tegas, kelompok-kelompok para militer harus dibekukan
dan anggotanya harus dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan
kejahatan mereka dan diperlukan pengadilan yang bersih.
Komentar
Posting Komentar