Resensi Buku Jangkauan Impunitas di Indonesia



Judul                       :    Jangkauan Impunitas di Indonesia
Penulis                   :    Martha Meijer
Penerbit                 :    Jaringan Mitra Impunitas 2007
Tempat Terbit        :    Jakarta Timur
Tahun Terbit          :    2007
Cetakan                  :    Pertama, 2007
Jumlah Halaman    :    244
ISBN 978-979-97208-3-2

Saat reformasi muncul harapan  bahwa Indonesia akan memasuki tahap yang penting yaitu dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dimana Indonesia mampu memutuskan lingkaran rantai impunitas. Lingkaran dari satu situasi dimana para pelaku kejahatan berat terhadap kemanusiaan bebas dari jangkauan hukum. Bukan karena mereka menikmati hak imunitas tetapi karena kekuasaan politik, militer dan ekonomi yang membuat hukum tidak mampu menuntut pertanggung jawaban mereka. Para pejabat ejim (militer dan sipil) harus mempertanggung jawabkan kejahatan hak asasi manusia yang mereka lakukan pada masa lampau. Hukum akan dikembalikan sebagai lembaga yang member perlindungan bagi mereka yang hak-haknya di rampas. Setelah hampir 9 tahun sejak Suharto minggir dari panggung politik, impunitas masih terus berlangsung. Instrumen hukum yang telah disiapkan dan memasng ada dua kasus kejahatan hak asasi manusia masa lalu yang hampir dapat memutus impunitas yakni kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Hampir dikatakan, lanataran para pejabat tinggi militer aktif atau pensiunan dapat di bawa ke pengadilan ad-hoc hak asasi manusia, tetapi kendatipun kenyataan bahwa telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia, ternyata mereka semua bebas dari hukuman. Begitu juga kejahatan yang terjadi setelah adanya pengadilan hak asasi manusia, yakni kasus Abepura, para pelaku ternyata diputus bebas oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makasar. Keputusan pengadilan tersebut bukan hanya melanggengkan impunitas dan tidak memulihkan hak korban, tetapi juga gagal mengembalikan kepercayaan masyarakat terutama korban. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa impunitas begitu mencengkram hukum dan hak asasi manusia? Padahal paket dalam hukum sudah lengkap, mulai dari TNI, POLRI, adanya konstitusi yang sudah di amandemen, tapi tetap saja impunitas tetap berlangsung.
Pada buku Martha Meijer ini merupakan salah satu usaha untuk menjawab semua. Kita dapat memahami karakter impunitas yang sedang berlangsung dan dapat mengikuti analisis yang mencoba menjawab akar permasalahan dari persoalan ini. Dan juga terdapat sejumlah rekomendasi yang di tawarkan bagi usaha untuk memutuska lingkaran impunitas di Indonesia.  (Asmara Nababan, April 2007).

Impunitas adalah “ketidakmungkinan, de jure dan de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya – baik dalam proses persidangan pidana, perdata, administrasi atau disipliner – karena mereka tidak tunduk pada penyidikan yang bisa mengarahkan mereka pada alasan mengapa mereka di tuduh, di tangkap, di adili dan jika ditemukan bersalah, di hukum dengan hukuman yang tepat dan untuk melakukan reparasi bagi para korban.”(Orentlicher, 2005a: 6). Dengan kata lain impunitas merupakan situasi pelanggaran berat hak asasi manusia yang diciptakan atau dipelihara oleh Negara atau sebagai hasil dari runtuhnya kekuasaan di sebuah Negara dan pelbagai institusinya. Atau dapat dikatakan bahwa pada pelbagai situasi apa pun dimana sebuah pelanggaran hak asasi manusia tidak di tangani sama sekali. (Odinkalu, 1996). Langkah-langkah analisis dengan menggunakan metode Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia :
-          Situasi Mutakhir
Sebuah deskripsi berdasarkan laporan hak asasi manusia internasional dan Indonesia untuk memberikan gambaran tentang kekerasan hak asasi manusia yang terjadi (2004 - 2005). Situasi mutakhir telah di analisis dengan mencocokan komitmen formal dalam perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia dengan implementasi dari hak-hak politik dan sipil yang utama. Tinjauan tentang keadaan mutakhir atas perlindungan dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia selama setahun terakhir, kemudian mempertimbangkan untuk menggunakan model dari institute Denmark untuk Hak Asasi Manusia (The Danish Institute oh Human Rights, DIHR) dalam Human Rights Commitment Index (Lindholt dan Sano, 2000: 11 – 12).Meskipun indeks dimaksudkan untuk membandingkan Negara-negara dalam hal kepatuhan mereka terhadap hak asasi manusia, namun ia memberikan suatu tinjauan yang baik tentang satu Negara juga. Fokus dari DIHR pada hak - hak sipil dan politik bersesuaian dengan focus Martha pada hak asasi manusia yang berdampak pada konsep impunitas. Indeks dari DIHR itu terdiri dari empat bagian dengan masing-masing turunan detailnya sebagai berikut :
1.      Komitmen formal dari pemerintah atas standar - standar hak asasi manusia internasional dan regional :
a.      Ratifikasi instrumen instrument internasional dan regional yang fundamental
b.      Ratifikasi terhadap konvensi- konvensi hak asasi manusia PBB
c.       Reservasi atas substansi dari perjanjian - perjanjian tersebut
d.      Hukum hak asasi manusia nasional
2.      Pelanggaran hak- hak sipil dan politik oleh pemerintah :
a.      Penghukuman mati di luar proses pengadilan dan penghilangan paksa
b.      Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
c.       Penahanan tanpa proses pengadilan
d.      Persidangan yang tidak adil
e.      Pelanggaran hak atas partisipasi
f.        Pelanggaran kebebasan untuk berkumpul
g.      Pelanggaran kebebasan untuk berekspresi
h.      Diskriminasi
3.      Komitmen pada pemenuhan hak - hak ekonomi, social dan budaya;
4.      Komitmen pada kesetaraan gender.

-          Konteks politik
Dalam analisis ini terdapat empat pola impunitas :
1.      Aspek yang berkaitan dengan kekuasaan
Aspek kekuasaan militer dan kepolisian yang selama puluhan tahun telah membentengi diri mereka sendiri dan yang masing- masing melanjutkan praktek represi. Tentara Indonesia memiliki dua cara menerapkan impunitas : pertama adalah melalui model dwifungsi yang memberikannya kekuasaan untuk merepresi para warga Negara di tingkat akar rumput tanpa control sama sekali dari kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman; yang kedua adalah ketertutupan yang sengaja di kembangkan dalam pelbagai kegiatan ketentaraan, kapasitas dan kebijakan. Dwifungsi telah berakibat pada kehadiran mereka yang merata dan menyeluruh dalam masyarakat melalui tindakan-tindakan represif dan intimidasi. Tidak banyak orang berani yang memiliki kekuatan untuk melawan represi ini dan menuntut adanya penghukuman bagi kekerasan hak asasi manusia. Mereka yang berani melakukannya hanya berakhir pada represi juga. Unit-unit berbeda dari tentara berkontribusi pada kurangnya transparansi pada unit mana yang harus bertanggung jawab untuk apa. Kurangnya transparansi itu sendiri menyediakan ruang gerak bagi praktek impunitas.
2.      Aspek Hukum
Aspek dari impunitas yang telat diperkuat oleh tindakan- tindakan hukum, undang- undang, dan proses- proses pengadilan. Undang- undang telah di buat dengan tujuan untuk mencegah pandangan- pandangan terbuka dan kritis tentang pelanggaran hak asasi manusia.Adanya hukum pidana, hukum perdata dan struktur dari pengadilan- pengadilan dan di tambahkan penggunaan hukum adat dan pengadilan- pengadilan tradisional khusus memiliki kewenangan untuk memutus di dalam konflik- konflik keluarga dan hubungan- hubungan yang terkait dengan keluarga. Dari konstitusi sampai pada tindakan- tindakan administrative di tingkat regional, terdapat unsure-unsur penting di dalam system hukum Indonesia yang mendukung impunitas dan membuat impunitas terlihat sah. Perubahan di dalam pemerintahan tidak  menghasilkan suatu system hukum yang bebas dari impunitas, ataupun kebijakan reformasi hukum yang terpadu. Para professional yudisial dalam penuntutan dan para hakim bekerja dalam iklim dimana penghukuman terhadap kejahatan hak asasi manusia adalah hal yang tidak mungkin.  Sejak tahun 1998, sebuah proses reformasi hukum telah di mulai. Namun pada saat itu, tampaklah bahwa begitu banyak mekanisme untuk menegakkan kedaulatan hukum. Dan karena jumlah yang begitu banyak itu malah menjadi penghalang bagi penuntutan dan penghukuman. Sebagai contoh sejumlah komisi, pengadilan, hukum, dan peraturan untuk mengentaskan korupsi mengatasi kasus- kasus yang tidak tertangani dengan tepat. Sebuah peran penting dalam reformasi hukum yang telah dimainkan oleh Undang- Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( UU KKR ) yang di sahkan oleh DPR pada September 2004. Akan tetapi, undang- undang itu tidak memadai dalam beberapa aspek penting, dan menurut banyak narasumber tidak akan memberikan solusi signifikan bagi kasus- kasus impunitas.
3.      Aspek cultural
Keragaman budaya merupakan suatu aspek penting dalam masyarakat Indonesia dan merupakan satu hal yang sering di banggakan oleh pemerintah dengan menggunakan semboyan Negara : “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda- beda tetapi tetap satu”. Indonesia mempunyai ratusan etnis dan kelompok bahasa yang berbeda- beda. Namun, keragaman yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat itu masih belum di terima sepenuhnya dalam praktek politik. Selama masa kekuasaan Suharto, ketegangan antar etnis merupakan sebuah tabu yang diletakkan di bawah doktrin SARA. SARA yang merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras dan Antar- golongan itu dilarang menjadi bagian dalam pembicaraan public. Karena kurangnya pertimbangan public, prasangka yang terkandung di dalamnya masing- masing hal sensitive itu menjadi tidak dapat di lawan dengan argument  apapun, itulah yang terjadi selama masa pemerintahan Suharto. Sejak transisi tahun 1998, debat public muncul menjadi hidup dan dinamis dengan pelbagai gagasan, pandangan dan konsep. Tabu SARA telah diganti oleh tabu baru lagi  yaitu konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Konsep ini tidak mengijinkan kritik apapun terhadapnya. Siapapun yang mengkritik konsep itu maka dengan segera ia di cap separatis. Dibutuhkan waktu yang cukup setelah 30 tahun masa penuh penindasan untuk menghidupkan debat public, untuk mengakomodasi kebebasan untuk membicarakan perbedaan- perbedaan berdasarkan latar belakang budaya dan untuk memikirkan dan menerima aspek negative dan positif dari masing- masing kebudayaan. Terdapat banyak sinyal dan pernyataan dari pelbagai narasumber yang menunjukkan bahwa kultur feodalisme masih tetap bercokol kuat dalam masyarakat. Hal itu membuat impunitas bukan hanya mungkin, melainkan merupaka suatu unsure esensial dalam kultur masyarakat sekarang ini. Perilaku “asal bapak senang”, tidak kritis dan sopan santun hipokrit merupakan cirri khas paling jelas dari kultur feodalisme. Dua jenis perilaku lainnya juga berkaitan erat dengan hal itu, yaitu kultur kekerasan – mengatasi konflik bukan dengan dialog dan debat melainkan dengan kekerasan – dan budaya kemunafikan – karena adanya tuntutan sopan santun dalam masyarakat maka orang cenderung untuk tidak menggali kebenaran dan menyingkapkan fakta- fakta. Akhirnya, ada juga kultur korupsi yang  pada dasarnya terjadi dalam iklim penuh kerahasiaan, tanpa bukti tertulis, dan dengan menggunakan tawaran- tawaran rahasia, ancaman dan tekanan tersembunyi. Kultur korupsi  yang menerima begitu saja praktek- praktek korupsi dan memanfaatkan begitu saja ketika praktek korupsi itu terbukti. Semua perilaku itu secara bersama-  sama memperkuat tindakan menutup - nutupi ketika di hadapkan pada tuntutan untuk mendukung kejahatan hak asasi manusia.    
4.      Aspek internasional
Perjanjian- perjanjian internasional tidak mengijinkan terjadinya impunitas. Kendati Indonesia belum meratifikasi semua perjanjian itu, namun sudah tercakup dalam konsep common law  bahwa impunitas tidak boleh di biarkan hidup. Kurangnya implementasi atas perjanjian - perjanjian ini, dan kurangnya tekanan internasional untuk membuat perjanjian - perjanjian itu di implementasikan dengan lebih baik, turut menyebabkan kelanggengan impunitas. Salah satu masalahnya adalah cara yang tidak memadai tentang bagaimana impunitas di masukkan ke dalam perjanjian-perjanjian itu. Masalah lainnya lagi adalah kurangnya komitmen politik (political will) untuk melakukan tekanan seperti itu. Contoh - contoh pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan kasus 1965 dan kasus- kasus Timor Timur sejak 1975 memperlihatkan bahwa mekanisme- mekanisme internasional PBB belum berjalan efektif sama sekali. Satu- satunya pengecualian adalah program pelepasan bagi para tahanan politik yang di desak oleh Organisasi Buruh Internasional ( ILO ) kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1976 - 1979 . Jurisdiksi universal merupakan system yang dengannya penuntutan dan pengadilan bisa di inisiasi oleh negara- negara lain dan bukan sekedar oleh Negara dimana pelanggaran hak asasi manusia terjadi, dan lebih mengarah kepada para pelakunya dalam kapasitas individual dan bukan mengarah pada kapasitasnya sebagai warga bangsa atau Negara tertentu. Jurisdiksi universal juga mengacu pada perspektif - perspektif baru tentang penuntutan dan persidangan bagi para pelaku kekerasan hak asasi manusia oleh Mahkamah Persidangan Internasional ( ICC ) di Den Haag. Bidang ini sedang berkembang dengan sangat cepat, khususnya dengan peningkatan jumlah Negara Pihak yang telah meratifikasi Statuta Roma untuk Mahkamah Persidangan Internasional tersebut. Indonesia memang belum menjadi Negara Pihak. Genosida dan penyiksaan merupakan dua jenis kekerasan dan kejahatan yang bisa di tuntut di Negara lain berdasarkan konvensi - konvensi terkait.

Namun demikian, jurisdiksi universal belum pernah diterapkan dalam kasus Indonesia, tidak juga dalam kasus Timor - Timur , baik dalam bentuk sebuah pengadilan ( Tribunal ) Internasional maupun dalam bentuk penuntutan individual yang di lakukan di Negara - Negara lain. Persidangan - persidangan menyangkut Timor Timur sangat mengecewakan karena tidak menunjukkan hasil apa - apa kendati pun sudah jelas ada banyak mekanisme yang tersedia , dan telah ada rekomendasi yang begitu tegas dari utusan PBB yang di pimpin oleh mantan Komisaris Agung Hak Asasi Manusia PBB, Mary Robinson. Ada asumsi kuat bahwa di tingkat yang lebih tinggi  di PBB juga terdapat kurangnya komitmen politik untuk masalah ini. Dalam hubungan bilateral, impunitas tidak pernah menjadi isu yang penting. Sejauh yang kita ketahui , pelanggaran Hak Asasi Manusia , hanya di bahas secara sambil lalu. Interverensi - intervensi diplomatic pada dasarnya memang tidak transparan. Bertahun - tahun sejak 1965, tampak jelas bahwa tekanan bilateral asing hanya mendatangkan sedikit perubahan dalam situasi represi yang di alami oleh puluhan, ratusan atau ribuan orang yang “terlibat” dalam apa yang di sebut sebagai kudeta gagal itu , dan bahkan tidak memberi perhatian apa pun berkaitan dengan impunitas.
Persyaratan tertentu ( Conditionality ) dalam hubungan internasional pada hakikatnya merupakan alat yang di pakai untuk menekan perubahan tertentu di sebuah Negara berkembang oleh Negara donor atau se kelomppok Negara donor. Persyaratan pada umumnya berarti menerapkan kekuasaan Negara donor kepada Negara penerima, dan sangat di ragukan apakah persayaratan itu dapat di terima jika berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia. Dalam kasus Indonesia, IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia) , yang setelah tahun 1992 berubah menjadi CGI ( Consultative Group on Indonesia ), telah menjadi sangat enggan untuk mengajukan persyaratan berupa permintaan sebagai imbalan dari pemberian bantuan kerja sama , pinjaman dan hibah. Pada tahun 1992 , IGGI telah dig anti menjadi CGI oleh pemerintah Indonesia seteleah retaknya hubungan kerja sama antara Indonesia dan Belanda karena pemerintah Belanda melakukan kritik terhadap tragedi pembantaian masal Santa Cruz , Dili , pada tahun 1991. Pemerintah Belanda kemudian kehilangan kursi kepemimpinan dalam IGGI. CGI kemudian di kepalai oleh Bank Dunia ( World Bank ). Perilaku pemerintah Indonesia dalam menghadapi persyaratan dalam kerja sama bantuan masih tetap demikian sejak saat itu.

-          Sasaran Perubahan
Sasaran perubahan untuk membayangkan situasi di mana impunitas merupakan hal yang mustahil dan untuk mengidentifikasi isu - isu yang perlu di ubah untuk sampai pada kondisi – kondisi seperti yang di harapkan. Oleh Karena itu, perlu untuk melepaskan diri dari realitas dan untuk memimpikan masa depan. Di sini Martha menggunakan riset yang di buat oleh Prof.D.Orentlicher. Analisis Orentlicher merupakan analisis yang pragmatis dan tidak dapat di pungkiri bahwa hal itu berangkat dari mandate yang di embannya dan pada lingkup mandatnya yang di mungkinkan secara politis , yakni bahwa peristiwa impunitas di suatu Negara seharusnya di selesaikan, di perbaiki dan di cegah. Sebagaimana di jelaskan oleh PBHI di dalam analisisnya mengenai praktek - praktek terbaik ( Orentclicher, 2004 ), Prof Orentclicher tidak mengikuti konteks politi yang termuat di dalam mandatnya yakni untuk tidak  menganalisis factor - faktor yang senantiasa mendukung keberlangsungan dari impunitas, dan oleh karena itu laporan tentang praktek - praktek terbaik tersebut kurang mengedepankan analisis masalah secara seksama.  Kondisi- kondisi yang berbeda mengenai pelbagai komisi kebenaran dan rekonsiliasi itu sendiri tidak secara detail menyatakan jaminan atas ketidak berulangan ( guarantee of non-recurrence ). Celah tersebut harus di isi.  Martha merumuskan sasaran - sasaran untuk perubahan di dalam kasus Indonesia secara posotif, se akan perubahan telah terjadi dan masa depan sudah ada di depan mata kita.
1.      Sasaran secara keseluruhan
Mekanisme - mekanisme di tempatkan untuk membuat impunitas mustahil untuk terjadi. Pelanggaran - pelanggaran  hak asasi manusia dan kasus - kasus penerapan hukum yang tidak yang tidak professional masih tetap dapat terjadi, baik oleh kesalahan manusia yang tidak di sengaja dan penyalahgunaan kekuasaan yang tidak di sengaja. Namun demikian , terdapat keseimbangan kekuasaan yang mewajibkan pejabat - pejabat yang kompeten untuk mengatasi pelanggaran - pelanggaran yang terjadi dengan cara memenuhi hak-hak para korban dan masyarakat. Masyarakat di atur se demikian rupa bahwa kepastian hukum mengalahkan kekuasaan dan bahwa warga Negara menghargai kepastian hukum tersebut.
2.      Hak untuk mengetahui
Orentlicher menyatakan bahwa argumentasi bahwa kegagalan Negara untuk memenuhi hak untuk mengetahui dapat di pertimbangkan sebagai suatu pelanggaran dengan sendirinya sesuai dengan jurisprudensi internasional dan bahwan hak untuk mengetahui dapat di klaimkan atas dasar yang sama (Orentlicher, 2005, paragraph 17). Proses ini mengantar kita pada suatu situasi di mana hak untuk mengetahui di hargai, di lindungi dan dapat di penuhi.
Kebenaran merupakan suatu konsep yang sangat luas dan yang subjektif. Orentlicher membatasi kebenaran dalam tiga perspektif : pertama, kebenaran menyangkut bagi suatu masyarakat untuk tahu akan sejarah mengenai kejahatan - kejahatan yang keji yang terjadi dan mengenai keadaan - keadaan dan alasan - alasan yang mengarah kepada mereka. Kedua, kebenaran menyangkut kewajiban Negara untuk mengungkap fakta - fakta tersebut ke public dan kemampuan Negara untuk mengungkap fakta - fakta tersebut ke public dan kemampuan Negara untuk memelihara memori tersebut dan ketiga, terdapat hak para korban dan/atau keluarga mereka untuk tahu apa yang terjadi pada orang di permasalahkan. Kebenaran dapat menjadi objek perdebatan public dan apabila perdebatan tersebut di lakukan di dalam diskusi - diskusi terbuka , maka suatu konsep kebenaran akan dapat di bangun berdasarkan fakta - fakta sejarah bersama. Orentlicher membagi penerapan hak untuk mengetahui dalam tiga hal ( Prinsip 2 - 5 ) :
a.      Hak kolektif warga Negara , masyarakat untuk mengetahui sejarahnya.
b.      Kewajiban Negara untuk memelihara memori dan membuat arsip - arsip.
c.       Hak individu untuk tahu mengenai nasib korban.
Sebagai badan yang menjadi actor di dalam pelaksanaan hak ini, Joinet ( 1997 ) mengajukan pembentukkan “Komisi Penyelidikan”, sedangkan Orentlicher mengadaptasi terminology terkini yakni “Komisi Kebenaran”. Titik tolak kedua badan tersebut berbeda ( untuk melakukan penyelidikan dan untuk mengungkap kebenaran ). Namun demikian, pada akhirnya kedua badan tersebut memiliki peran yang sama di dalam masyarakat yang sedang berada di dalam masa transisi.
3.      Hak atas keadilan
Di dalam masyarakat dimana impunitas tidak dapat muncul , maka yang terjadi adalah bahwa semua pelanggaran hak asasi manusia di selesaikan melalui prosedur - prosedur yudisial. Untuk dapat merealisasikan hal tersebut Negara harus melakukan investigasi - investigasi yang cepat, seksama, independen dan imparsial dengan inisiatifnya sendiri, dan juga mengambil tindakan - tindakan yang tepat berkenaan dengan para pelaku ( Prinsip 19 ). Terlepas dari kewajiban dan kompetensi Negara, para korban dan generasi mereka yang akan dating memiliki kesempatan untuk menggunakan prosedur swasta dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka akan keadilan dan melindungi hak atas keadilan secara umum. Lebih lanjut, Prinsip 20 - 30 menetapkan criteria yang detail mengenai pembatasan pelaksanaan hukum , yang dapoat di terima dan yang tidak dapat di terima sehingga membatasi penerapan amnesty, imunitas resmi, dan juga hubungan terhadap jurisdiksi internasional.
4.      Hak atas reparasi
Van Boven dan Bassiiouni di dalam Prinsip - Prinsip Acuan dan Pedoman tentang Hak atas Upaya Hukum dan Reparasi ( PBB 2005d )menggunakan istilah remedy (upaya hukum) dan reparasi. Di dalam dokumen tersebut , upaya hukum di bagi menjadi 3 aspek : akses terhadap keadilan, reparasi untuk kerugian yang di derita , dan akses terhadap informasi yang factual. Akses terhadap informasi dan keadilan di dalam prinsip - prinsip Acuan ini tumpang tindih dengan hak untuk mengetahui dan hak atas keadilan di dalam Prinsip - Prinsip Acuan Orentlicher mengenai reparasi mengacu pada prinsip - prinsip acuan dan pedoman ini ( PBB 2005d ), yang menerangkan pengertian - pengertian yang berbeda sebagai berikut :
a.      Restitusi harus, bilamana di mungkinkan, mengembalikan korban kepada situasi semula sebelum pelanggaran - pelanggaran berat terhadap hukum hak asasi manusia internasional atau pelanggaran - pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional terjadi. Restitusi mencakup , yang layak : restorasi kebebasan, penikmatan hak asasi manusia, identitas, kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, kembali ke tempat kediaman, restorasi pekerjaan dan pengembalian hak milik.
b.      Kompensasi harus di sediakan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomi dapat di nilai, selayak dan seproporsional mungkin dengan kejahatan dan keadaan dari tiap kasus , sebagai hasil dari pelanggaran - pelanggaran berat terhadap hukum hak asasi manusia internasional dan pelanggaran -pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional seperti :
o   Kerugian fisik dan mental;
o   Hilangnya kesempatan , termasuk pekerjaan, pendidikan dan tunjangan social;
o   Kerusakan meteriil dan hilangnya penghasilan, termasuk hilangnya penghasilan yang potensial;
o   Kerusakan moral;
o   Biaya yang di bayarkan untuk bantuan hukum atau ahli, layanan medis dan obat - obatan, layanan psikologis dan social.
c.       Rehabilitasi ( Rehabilitation ) harus meliputi perawatan medis dan psikologis, dan juga layanan hukum dan social.
o   Pemuasan ( Satisfication ) harus meliputi bilamana di mungkinkan salah satu atau seluruh dari hal - hal sebagai berikut : tindakan - tindakan yang efektif yang di arahkan pada penghentian pelanggaran - pelanggaran yang terus berlangsung;
o   Verifikasi fakta - fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya secara public, sampai pada taraf dimana pengungkapan semacam itu tidak mengakibatkan kerugian yang lebih jauh atau mengancam keselamatan dan kepentingan para korban, keluarga para korban, saksi - saksi atau orang - orang yang telah turut campur tangan untuk membantu korban atau mencegah terjadinya pelanggaran -pelanggaran yang lebih jauh;
o   Pencarian terhadap keberadaan mereka yang hilang, identitas anak - anak yang di culik dan jenazah orang - orang yang di bunuh dan bantuan di dalam hal pemulihan , pengidentifikasian dan pemakaman ulang jenazah sesuai dengan permintaan yang dinyatakan atau yang mungkin di nyatakan oleh para korban atau sesuai dengan praktek - praktek kebudayaan dari pihak keluarga dan masyarakat;
o   Pernyataan resmi atau putusan pengadilan untuk mengembalikan martabat reputasi dan hak para korban dan orang - orang yang memiliki hubungan erat dengan korban;
o   Permintaan maaf secara public, termasuk pengakuan terhadap fakta - fakta dan penerimaan tanggung jawab;
o   Sanksi hukum dan administrasi terhadap orang - orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran - pelanggaran tersebut;
o   Peringatan dan penghormatan bagi para korban;
o   Pemasukan pertanggung jawaban yang akurat mengenai pelanggaran - pelanggaran yang terjadi di dalam pelatihan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional dan di dalam materi pendidikan di semua tingkat. ( PBB, 2005d : para 19 – 22 ).
5.      Jaminan - jaminan atas ketak - berulangan ( guarantee of non recurrence )
Jaminan - jaminan atas ketak – berulangan memiliki kelompok target yang lebih luas dan lebih terstruktur di banding reparasi , tidak hanya para korban tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Jaminan - jaminan atas ketak - berulangan tidak hanya di berikan kepada mereka yang menjadi korban masa lalu , tetapi mengacu pada perlindungan dan keamanan bagi setiap orang terhadap pelanggaran - pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, saya meletakkan sasaran ini terpisah dari yang sebelumnya.

Pada dasarnya, pedoman tersebut berfokus pada sasaran perubahan dalam periode transisi dari pemerintahan otoritarian menuju tatanan demokratis , dan di arahkan pada kesulitan - kesulitan menangani sejarah pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, dalam pedoman tersebut, suatu analisis impunitas menjadi sangat kurang dan prosedur - prosedur yang di ajukan sangat pragmatis. Ke tiga hak yang di sebutkan di atas sangat esensial untuk menyikapi sejarah impunitas, sementara yang terakhir, “jaminan ketak - berulangan “, merupakan poin paling penting untuk kepentingan masa depan , yaitu bagaimana mencegah mekanisme - mekanisme impunitas tetap melanggeng atau kembali.
-          Isu - isu yang akan di monitori
Dengan adanya pengaruh terhadap sasaran - sasaran masa depan, isu - isu ini perlu di ubah. Untuk melihat apakah apakah perubahan tersebut berjalan ke arah yang tepat , maka isu - isu ini perlu untuk di monitori.  Isu - isu ini muncul dari hubungan antara sasaran - sasaran yang terkait dengan situasi yang nyata dan rintangan - rintangan yang sudah di bahas. Dengan demikian sasaran - sasaran masa depan akan di sandingkan dengan realitas yang ada , karena struktur - struktur yang ada cenderung untuk menolak perubahan dan melekat pada status quo. Martha Meijer juga akan membahas bagaimana “indicator - indicator realitas” berhubungan dengan sasaran - sasaran. Berdasarkan situasi ini , hubungan - hubungan ini membutuhkan prioritas - prioritas yang berbeda untuk aktivitas monitoring dan advokasi. Menganalisis isu - isu untuk di ubah dan di awasi adalah suatu tindakan yang mudah; melanjutkan proses monitoring dan mengidentifikasi perkembangan atau hasil - hasil negative adalah tindakan - tindakan yang mengikuti usaha - usaha advokasi yang di lakukan dan di nilai oleh masyarakat sipil.
1.      Implementasi hak untuk mengetahui , apabila di laksanakan dengan baik akan mengantar kita pada suatu memori bersama sebagaimana dinyatakan oleh Margalit di dalam pendekatan filosofisnya. Memori bersama menurutnya merupakan penyatua semua memory individu dari mayoritas suatu masyarakat. Penting untuk memilah - milah masalah - masalah tersebut menjadi isu - isu yang dapat di awasi dengan keterkaitan pada implementasi sasaran yang di maksudkan. Terlepas dari hubungan yang ada, penting untuk mengidentifikasi arah untuk perubahan.
a.      Faktor - factor kekuasaan
Di dalam lingkup kekuasaan, hubungannya adalah sebagai berikut :
o   Dwi - Fungsi ABRI telah mengakibatkan tentara berkuasa di dalam wilayah keamanan domestic, sehingga menciptakan ketidak seimbangan di dalam masyarakat. Perubahan harus di lakukan , yakni dimana tentara memiliki posisi yang kurang dominan di tingkat akar rumpu dan juga di tingkat pengambilan keputusan mengenai keamanan domestic. Kehadiran militer lokal harus tidak terlibat di dalam pengawasan pendapat - pendapat politis, dan barang kali kehadiran militer lokal harus di hapus secara total.
o   Ketidak transparanan yang di sengaja di dalam tubuh tentara telah mengakibatkan tanggung jawab yang tidak jelas di antara unit - unit yang berbeda. Tanggung jawab unit - unit tersebut harus di tegaskan kembali , di setujui dan di tentukan oleh pejabat - pejabat sipil. Dalam hal ini Undang - Undang TNI yang ada saat ini tidak memadai (Imparsial, 2004a), khususnya mandat yang luas yang di berikan kepada Pasukan Khusus (Kopassus) dan Brigade Mobil ( Brimob ). Struktur baru yang tidak transparan , seperti yang di advokasi oleh BIN, lengkap dengan kapasitas penahanan di tingkat lokal, harus di hindari.
o   Penggunaan kekerasan seksual telah mengakibatkan sedikitnya laporan yang di terima mengenai pelanggaran - pelanggaran yang terjadi dan tidak memadainya tindak lanjut pelanggaran - pelanggaran tersebut. Isu yang berkenaan dengan monitoring masalah yang tidak di laporkan merupakan isu yang rancu. Awalnya peritiwa itu akan muncul ketika kesadaran tumbuh hanya dalam bentuk peningkatan laporan saja. Publisitas mengenai kasus - kasus dan para korban yang mempunyai keberanian untuk melapor, termasuk akibat - akibat yang mungkin dapat di gunakan sebagai alat untuk memcahkan keheningan ini. Konseling pendampingan di perlukan.
o   Pengaruh politis dari tentara telah menciptakan kepentingan kelompok yang sangat kuat dan tidak seimban. Tidak hanya mengenai pengambilan keputusan politis yang umum semata, tetapi juga mengenai isu - isu yang terkait dengan kelompok. Kekuasaan tentara tetap tinggi meskipun kursi resmi untuk mereka di Parlemen sudah tidak lagi di berikan. Pembentukan pengadilan - pengadilan hak asasi manusia ad hoc telah di putuskan bersama oleh perwira - perwira tentara dengan mempengaruhi anggota - anggota parlemen dan orang - orang yang berada di posisi yang tidak tinggi di dalam pemerintahan.
o   Kepentingan - kepentingan ekonomi dari tentara untuk tetap beroperasi, telah secara negative mempengaruhi posisi keamanan pemerintahan lokal dan perusahaan - perusahaan bisnis lokal dan internasional. Tentara telah membuat keberadaannya sangat di butuhkan. Di beberapa kasus , para pengamat mengatakan, mereka sendiri yang membangkitkan kegelisahan dan melakukan kekerasan ( Aditjondro, 2000; Human Rights Watch, 2002: 40 ). Keterkaitan antara kekerasan dan kepentingan - kepentingan ekonomi sangat sulit untuk di uraikan. Pada tingkat kebijakan, tentara harus di larang untuk mengambil bagian di dalam perusahaan - perusahaan ekonomi dan di berikan dana yang cukup untuk tetap beroperasi pada tingkatan yang telah di setujui. Di tingkat lokal, mekanisme untuk mengawasi kepentingan - kepentingan yang saling bertentangan harus di bangun.
o   Peran polisi dan polisi militer untuk menyelidiki pelanggaran - pelanggaran hak asasi manusia yang di lakukan oleh personil militer tidak jelas dan tidak kuat. Hubungan adik dan kakak tidak memudahkan pelaksanaan investigasi yang independen.
o   Kelompok - kelompok para - militer telah di gunakan untuk melawan institusi - institusi dan individu - individu yang kritis , partai - partai politik, dan kelompok - kelompok keagamaan. Di sejumlah kasus, hubungan yang erat dengan, dan dukungan dari tentara telah terbongkar (Amnesty International, 1999a, Eye on Aceh, 2004) tetapi tidak ada upaya yang di ambil. Hal ini mungkin di karenakan adanya ketakutan terhadap orang - orang yang mendukung kelompok - kelompok tersebut. Faktor kekuasaan memiliki dampak terhadap implementsi hak untuk mengetahui, karena factor - factor tersebut menghalangi debat public mengenai , dan investigasi - investigasi yang terbuka terhadap pelanggaran - pelanggaran hak asasi manusia dan para pelakunya. 

Banyak dari isu yang harus di atasi oleh Undang - Undang TNI yang baru (UU No. 34 Tahun 2004), yang di sampaikan kepada DPR pada bulan Juni 2004 dan di sahkan pada bulan September 2004, tepat sebelum masa kepemimpinan Presiden Megawati berakhir. Namun demikian undang - undang tersebut di anggap tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan - persoalan yang di atas ( Imparsial, 2004a ). Imparsial secara khusus mencatat persoalan mengenai pengaruh politis dan kurangnya supremasi penduduk sipil dan mengatakan bahwa hukum bahkan membuka pintu - sebagai pintu belakang - bai TNI untuk kembali bermain di dalam ranah politik dan untuk mengambil tindakan - tindakan otonomi.
b.      Faktor -faktor Hukum
Disini kita dapat mempertimbangkan integrasi perspektif - perspektif para korban dan pelaku , penduduk sipil dan militer, si kaya dansi miskin. Ini mungkin merupakan proses pertumbuhan pemahaman terhadap posisi pihak lain. Martha mengambil tindakan ini sebagai pendekatan Margalit kea rah rekonsiliasi. Meskipun upaya untuk menyeimbangkan solusi yang sempurna tidak akan pernah tercapai, tetapi usaha di dalam diskusi – diskusi yang terbuka akan menyingkirkan banyak ketegangan yang dating tidak dengan integrasi dan pemahaman. Di dalam proses untuk membangun integrasi ini , akan terdapat putusan - putusan hukum untuk mengatasi konflik kepentingan yang terjadi. Banyak nara sumber menyatakan bahwa keadilan dan rekonsiliasi hanya akan mungkin tercapai setelah kebenaran di buktikan. Hal ini menyiratkan bahwa di dalam implementasi hak untuk mengetahui, semua factor hukum yang mendukung impunitas sangat penting :
o   Impunitas yang di legalkan, khususnya identifikasi terhadap undang – undang yang mendukung impunitas dan perlu di cabut; dan identifikasi putusan - putusan yang tidak adil , yang telah menekan kebebasan bekrpresi dan kebeasan para korban terhadap kegagalan hukum. Perubahan menyiratkan reparasi masa lalu dan pencegahan masa depan dengan menerapkan keadilan dengan instrumen - instrumen hukum yang tepat.
o   Impunitas dengan  korupsi perlu di akhiri dengan cara membongkar putusan - putusan yang telah di curigai dan meninjau kasus - kasus tersebut, dan juga mencegah putusan - putusan baru yang mengandung kecurangan. Kriteria harus di tetapkan dan struktur - struktur pengawasan yang efektif harus di tempatkan. Saat ini terdapat 4 insitusi yang terlibat di dalam pengawasan terhadap korupsi : Kejaksaan (dengan Wakil Jaksa Agung khusus untuk korupsi), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lebih lanjut , para Hakim dan Jaksa yang masih aktif bertugas di awasi oleh Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung, dan dua komisi baru : Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan.
o   Reformasi hukum yang saat ini sedang berlangsung lebih memilih untuk membentuk badan - badan yang baru ke timbang menyempurnakan kapasitas dan cara kerja dari badan - badan yang saat ini ada.
c.       Faktor - factor budaya
Di dalam lingkup kendala - kendala budaya untuk mengimplementasikan hak untuk mengetahui, hubungannya adalah sebagai berikut :
o   Budaya feodalisme semacam itu menghambat diskusi dan komunikasi yang terbuka dan seimbang. Hal ini menghalangi pencarian fakta - fakta secara independen.
o   Kekerasan budaya telah menekan upaya - upaya untuk angkat bicara. Kelompok - kelompok para - militer akhir - akhir ini telah di pakai untuk mengintimidasi mereka yang memprotes.
o   Budaya kemunafikan dan kepalsuan telah di maksudkan tidak untuk mencapai dan mengetahui kebenaran, tetapi di maksudkan untuk mencapai consensus dan menghindari terjadinya konflik. Hal tersebut mengijinkan realitas yang akan terjadi, yang membutuhkan waktu untuk setahap, di hapuskan. Akan sulit untuk membuat orang sadar bahwa mereka memalsukan budaya, bahkan untuk alasan - alasan keamanan, hal itu sudah tidak ada artinya.  
-          Rekomendasi:
Dipandang dari perspektif sasaran, jaminan ketakberulangan mendapatkan prioritas tertinggi karena berhubungan dengan pencegahan impunitas di masa depan. Dalam konteks ini gugus prioritas tinggi yang kedua yang harus diambil di Indonesia untuk mengentaskan impunitas adalah soal relasi kekuasaan. Tentara harus dibuat akuntabel atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dengan sebuah proses kebenaran dan keadilan melalui sebuah pengadilan yang bersih. Tentara juga harus ditempatkan di bawah pengawasan sipil tanpa pengaruh politik dan kepentingan ekonomi apapun. Tanggungjawab dari kesatuan tentara harus ditetapkan secara tegas, kelompok-kelompok para militer harus dibekukan dan anggotanya harus dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mereka dan diperlukan pengadilan yang bersih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Narasi Tabel dan Grafik

Bottom-up Testing

Top-Down Testing